Tak ada yang aneh dari situasi rumah sakit siang itu. Perawat hilir mudik dari satu kamar pasien ke kamar pasien lainnya entah itu sendiri untuk mengganti cairan infus pasien maupun bersama dokter untuk mencatat peekembangan pasien, sebagian dokter tengah sibuk mempersiapkan operasi, dokter lainnya siaga menjalankan tugas di kliniknya masing – masing, petugas kebersihan lalu lalang memastikan terjaganya kebersihan rumah sakit, pasien datang dan pergi silih berganti, begitupun keluarga pasien yang datang menjenguk atau menginap menemani sang pasien. Diantara keriuhan dalam keheningan rumah sakit itu, di salah satu kamar VVIP terdapat dua manusia yang sama sekali tak terusik oleh rutinitas rumah sakit diantara mereka. Keduanya saling menatap nanar, dari tatapan mata keduanya seolah menyiratkan ribuan makna yang tak mampu terurai oleh kata.
Janeta, perempuan berusia 37 tahun mengenakan celana jins belel dengan aksen sobek – sobek di bagian paha sampai pertengahan betis dan kaos putih polos, blazer putih bermotif bunga, dan clutch bag berwarna putih di tangan kirinya senada dengan warna high heels yang dikenakannya berjalan tergesa menuju sebuah ruangan kamar pasien di rumah sakit itu. Ibu dari tiga orang anak dan istri dari seorang pengacara itu tetap tampak terlihat jauh lebih muda dari umur sebenarnya. Janeta memanfaatkan waktu luangnya yang saat ini tengah mendampingi suaminya menangani sebuah kasus hukum di kota itu. Janeta tak sendiri mendampingi sang suami, tiga anaknya, ibu, dan ayahnya ikut serta dalam perjalanan ini. Sekalian menemani cucu liburan, begitu alasan Janeta pada suaminya ketika mengajak kedua orang tuanya. Sebelum memburu langkah di rumah sakit, Janeta menitipkan anak – anak kepada kedua orang tuanya yang kini tengah menikamti keindahan salah satu cagar budaya peninggalan sejarah yang pernah tercatat sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia.
Selintas terlihat raut kekhawatiran dalam wajahnya yang tetap cantik terawat, tanpa kerutan dan hanya berbalut make up tipis dengan lipstik merah warna favoritnya dan alis yang tergambar dengan sempurna. Janeta tak menghiraukan bahwa kecemasan yang bercampur ketergesaannya melangkah telah mengucurkan keringat di tubuhnya. Hingga akhirnya dia berhenti di depan sebuah pintu dari sebuah ruangan kamar pasien. Janeta mulai mengatur nafas dan mengusap peluh di wajahnya dengan tisu dari dalam clutch bagnya. Setelah membuang tisu yang digunakannya mengusap peluh di wajah, secara perlahan dibukanya pintu kamar pasien VVIP itu dan ditutupnya kembali tanpa suara. Usahanya sia – sia karena Arman, pasien yang tergolek di atas tempat tidur masih terjaga dengan sepenuh hati melawan pengaruh obat untuk melihat tamu yang menjenguknya.
Arman, lelaki berusia 40 tahun lebih yang kini tergolek lemah di rumah sakit karena komplikasi gagal ginjal dan hepatitis C itu kini menyunggingkan senyum ketika telah melihat dengan jelas tamu yang datang menjenguknya. Sudah tiga hari dia menghabiskan waktunya di rumah sakit tanpa pernah kesepian, karena teman – teman dan keluarganya yang bergantian datang menjenguk. Sebagai seorang pemilik cafe dan juga pelukis yang cukup populer, wajar baginya jika selalu dikelilingi teman – teman yang sebagian besar telah menjadi rekan kerjanya. Arman menikmati kesendiriannya dengan meneggelamkan diri di cafe kecilnya yang tak pernah sepi pengunjung. Jika tidak berada di cafe, dia pasti menyepi ke suatu tempat untuk melukis. Lukisan yang sebagian besar menghiasi dinding cafe dan rumahnya. Sebagian lainnya dibeli oleh penggemar lukisannya. Sepuluh tahun berpisah dari Janeta, Arman sudah berhenti berharap bahwa mereka akan bisa kembali bersama.
Oleh karena itulah, kedatangan Janeta mantan kekasihnya adalah kejutan terbesar bagi Arman saat ini. Bagaimanapun cintanya terhadap Janeta, tak mungkin dia mendekapnya kembali semenjak sang mantan kekasih memilih menikahi laki – laki lain sepuluh tahun lalu dan kini menjadi ibu dari tiga anak. Dengan sekuat tenaga, Arman melawan pengaruh obat yang diberikan oleh perawat beberapa menit lalu. Dia tak ingin melewatkan sedetikpun momen saat ini. Kepalanya menoleh ke arah kiri tempat pintu dimana Janeta berdiri menatapnya. Keduanya saling menatap dan melemparkan senyum penuh arti.
Janeta berjalan perlahan mendekati Arman tanpa memutuskan tatapan dan senyumannya pada pria itu. Setelah berada cukup dekat di sisi kiri tempat tidurnya, Janeta meraih tangan Arman dan menggenggamnya. Tangan yang sama yang dulu, sebelas tahun lalu pernah menggenggamnya. Tangan dari tubuh yang masih sekekar dulu, meski kini tak lagi bertenaga. Tubuhnya ternyata takluk oleh obat – obatan yang membantunya bertarung melawan komplikasi penyakit yang dideritanya. Arman dengan sekuat tenaga tanpa menghiraukan nyeri di pergelangan tangan kanan yang tersambung pipa infus menggeser sedikit badannya ke arah kanan, seolah memberi ruang untuk Janeta duduk di sampingnya. Janeta tersenyum, tanpa melepaskan genggaman tangannya dia duduk di sisi tempat tidur Arman.
“Hai…” sapa Janeta pada Arman dengan mata yang entah mengapa memancarkan kebahagiaan teramat sangat. Bahagia dan terharu terpancar dari matanya yang kini menatap lekat Arman. “Hai…” Arman balas menyapa dengan sisa tenaga yang susah payah dikumpulkannya. “Ka… Mu… Apa… Ka… Bar…? Happy?” dengan terbata, Arman masih berusaha memulai pembicaraan. Bagaimanapun dia tak ingin menyia – nyiakan momen ini. Dia akan berusaha untuk bicara sepanjang dan selebar dia mampu.
“Baik, alhamdulillah… Kamu… Kenapa bisa seperti ini?” balas Janeta sambil mengusap tangan Arman. “Gaya hidup. Huh… Hari – hari di cafe, kalau enggak… Ya ngelukis.” Arman mulai lancar berbicara. Bukannya menjawab, tangis Janeta mulai pecah. Airmatanya perlahan keluar dan membasahi pipinya. “Loh, kok nangis… Aku gak apa – apa. Paling minggu depan sudah sembuh dan sehat lagi.” hibur Arman yang kini balik menggenggam tangan Janeta. “Raka… Sekarang kelas berapa? Koleksi barbie si kembar Mayang dan Lila sudah sebanyak apa sekarang?” Arman kembali mengulang pertanyaan mengenai kabar anak – anak Janeta. Janeta mengusap air matanya dan kembali menatap Arman, “kamu inget nama anak – anakku dan tahu hobi koleksi barbie si kembar…” Janeta bergumam tanpa sedikitpun rasa heran. “Well… I am your secret stalker…” tawa keduanya pecah dalam keheningan ruangan itu.
“Sepertinya cafe dan melukis belum cukup menguras waktu dan tenaga kamu. Sampai kamu… Masih ada waktu untuk stalking… Memangnya… Kamu umur berapa…” Janeta menimpali di sela tawa mereka. “Sepertinya Raka, Mayang, dan Lila lebih besar maknanya daripada karir kamu. Aku gak pernah membayangkan bisa melihat kamu seperti ini. Full time mommy. Ibu…” Arman menelan sisa kata – katanya, seolah terlalu pahit untuk diucapkan. Bukan untuk Janeta, tapi untuknya sendiri.
“Aku akan selalu ada waktu untuk cari tahu kabar kamu. Memastikan kamu bahagia. Dimanapun, kapanpun, dengan siapapun…” sambung Arman kemudian sambil meraih tangan Janeta dalam genggaman dan mengecupnya. “I love you, Arman.” Arman tak tahu lagi harus menjawab apa. Diapun masih sangat mencintai Janeta.
“I love you more, Janeta… ” akhirnya Arman membalas ucapan Janeta. Kerinduan dan penyesalan selama lebih dari sepuluh tahun yang dipendamnya sudah tak mampu lagi dia tahan. “Bohong. Kalau cinta, kenapa tinggalin aku ke Everest?” Janeta melepas tangannya dari genggaman tangan Arman dan berusaha menghapus air mata yang membanjiri pipinya.
“Kamu juga bohong. Kalau cinta, kenapa nikah sama orang lain?” balas Arman, keduanha kemudiam tersenyum. Senyum yang mengisyaratkan kegetiran peninggalan sesal di masa lalu.
“Kamu pergi, ngilang gitu aja, dan tiba – tiba kamu dan teman – teman kamu memposting foto – foto pendakian di puncak Everest di instagram dan di path. Gak ada kabar setelahnya dari kamu. Kamu juga jadi susah dihubungi waktu itu.” Arman menundukkan kepala, diam dan tenggelam dalam penyesalan. “I was pregnant, Arman… Kamu ngilang seminggu setelah aku kabari kalau aku hamil. Menurutmu aku harus apa…”
“Maaf… Aku harusnya bisa jauh lebih baik dari itu…” diantara ribuan penyesalan dari kebodohannya, hanya itu yang bisa diungkapkan Arman saat itu. Ya benar, Arman mendapat serangan panik sebelas tahun lalu, saat Janeta datang ke rumahnya memberi kabar kehamilannya. Bahwa dia sudah telat datang bulan selama dua bulan. Saking paniknya dia bahkan mengiyakan ajakan teman – temannya untuk menaklukkan puncak Everest, yang membuatnya kehilangan Janeta setelahnya. Janeta memilih merelakan bakal calon anak mereka untuk pergi selamanya kemudian menerima lamaran lelaki lain yang dipacarinya hanya dalam waktu empat bulan saja. Seorang pengacara muda yang saat itu tengah meniti karir. Pengacara yang dikenalkan teman kerjanya hanya selang beberapa bulan setelah pendakian Arman.
“I had a career and family, Arman. Aku gak bisa nunggu tanpa kepastian dari kamu. Itu pilihan yang harus aku ambil. Setelah kamu pergi…”
“Aku gak nyalahin kamu…”
“Bayangan kita bisa hidup bersama itu selalu ada di kepalaku. Tempatku harusnya di samping kamu waktu itu. Bukan di puncak Everest.”
“Karena kamu goblok…” timpal Janeta sambil tertawa yang kini berdiri di samping tempat tidur Arman.
“Iya… Karena aku goblok. Banget…” balas Arman dengan getir. Keduanya kemudian tertawa dan dalam hitungan detik, keduanya diam. Tenggelam dalam tatapan satu sama lain.
“Tapi kita berhasil mewujudkan mimpi untuk pergi ke Prancis dan mengunjungi Eiffel tower.” Arman menyambung ucapannya yang disambut lirikan sini dari Janeta.
“Huh, lucu. Kita bisa ketemu lima tahun lalu di depan Eiffel tower, sedangkan kita perginya sendiri – sendiri. Aku bersama suami dan anak – anak. Kamu…”
“Aku pergi sendiri waktu itu. Aku cukup lama tinggal disana, sekitar tiga bulanan rasanya.”
“Dulu kita nabung setengah dari gaji kita untuk kesana bareng…” ucap Janeta.
“Aku jadi inget dengan tabungan kita itu. Kamu pakai buat apa jadinya?” tanya Arman.
“Tas dan sepatu branded pertamaku dari tabungan kita itu.” jawab Janeta.
“Aaah…” Arman tersenyum mendengar jawaban Janeta. Dulu setahunya dia tak pernah suka dengan barang branded dari luar negeri.
“Good for you, marrying a successful lawyer.” sindirnya yang dibalas Janeta dengan senyum kecut.
“Cuma Tuhan dan aku yang tahu betapa inginnya aku bertahan waktu itu. Begitupun sekarang… Cuma Tuhan dan aku yang tahu… Betapa inginnya aku ada di samping kamu saat ini. Jagain kamu 24 jam 7 hari.” ucap Janeta yang memecah keheningan. Menatap Arman yang menggenggam tangannya dan meletakkannya di dadanya.
“Bagaimana bisa kamu mencintai aku padahal kamu menikah dan hidup dengan orang lain selama sepuluh tahun ini…”
“Karena aku gak bisa berhenti mencintai orang yang dulu pernah aku cintai. Meskipun dia ninggalin aku dan memilih mendaki gunung… Meskipun sekarang dia sedang sekarat di rumah sakit…” jawab Janeta sambil tersenyum penuh getir.
“Hey… Aku datang ke rumah kamu sebelum kamu nikah, kan… Aku juga datang di pernikahan kamu.”
“Jauh lebih berarti kalau kamu ada di samping aku sebelas tahun lalu. Setelahnya, kamu gak memberi manfaat apa – apa lagi…”
“Aku pikir, setelah kepergian kamu dan anak kita… Aku akan dengan mudah move on…” lanjut Janeta.
“Jadi, selama sepuluh tahun ini… Kamu gak cinta sama suami kamu?” pancing Arman yang diam – diam memendam sedikit harapan.
“Cinta. Kalau enggak, gak mungkin aku bertahan sepuluh tahun…” balas Janeta dengan menggantung kalimatnya.
“But… you love me a little bit more…?”
Mendengar ucapan seperti itu dari Arman, Janeta hanya membalasnya dengan menyunggingkan senyum. Beberapa saat kemudian Arman mengecup tangan Janeta, “pulanglah… Kamu gak seharusnya disini. Raka, Mayang, dan Lila lebih butuh kamu daripada aku.”
“Jangan ajari aku untuk jadi ibu buat anak – anakku…”
“Kalau begitu, pulanglah supaya aku gak dituntut suami kamu…” Keduanya tersenyum kemudian terdiam.
Arman kemudian perlahan mulai memejamkan matanya. Dia memilih menyerah pada pengaruh obat yang sedari tadi dilawannya demi Janeta. Kini dia memilih tidur. Karena di dalam tidurnya dia bisa melihat dengan jelas angan – angan yang dimimpikannya selama sepuluh tahun. Angan – angan membangun keluarga bersama Janeta dan anak mereka. Dalam angan – angan itu, dia akan aelalu pulang ke pelukan Janeta. Lepas dari kecanduan alkohol yang secara perlahan menggerogoti tubuhnya. Lepas dari ketergantungan merokok yang bagaikan bernafas, tak mampu dihentikannya. Bahkan pada saat dirinya tenggelam dalam hobi melukisnya. Dalam gurat kuas lukisannya, dia mencurahkan kegundahannya. Semakin dalam gurat kuas lukisan pada kavasnya, semakin banyak batang rokok yang dihabiskannya.
Tak berapa lama setelah Arman lelap dalam tidurnya, Janeta pergi. Menutup pintu secara perlahan dari luar ruangan kamar pasien VVIP itu, supaya tidak mengganggu penghuninya yang telah terlelap tidur dibawah pengaruh obat.
Setelah melangkahkan kaki ke parkiran tempatnya memarkir mobilnya, Janeta menyempatkan diri menikmati saat yang sepi di mobil untuk dirinya. Dikeluarkan selinting rokok yang kemudian dibakar dengan pemantik api dari clutch bagnya. Janeta menikmati setiap isapannya. Masih teringat jelas dalam ingatannya, betapa bahagianya dia dan Arman sebelas tahun lalu. Tertawa lepas menertawakan hidup, menciptakan dunia mereka sendiri dimana hanya ada cinta yang cukup untuk membuat mereka bahagia, tanpa terusik bisikan dan gangguan dari siapapun. Cinta tanpa perlu saling menilai dan menghakimi satu sama lain, cinta tanpa pretensi dan tuntutan. Janeta sesekali tersenyum getir, setiap bayangan akan masa lalunya bersama Arman muncul. Mencuri waktu untuk merokok sendiri sudah dilakukannya sejak menikah dan memiliki anak. Baginya ini sudah seperti liburan terindah.
Setelah menghabiskan tiga batang rokok, Janeta kemudian membuka lebar semua kaca jendela mobilnya, menyemprotkan pewangi mobil sebanyak – banyaknya, meraih permen mint di dashboard, namun tangannya terhenti ketika melihat buku mewarnai yang tergulung, tersimpan disana bersama crayon. Buku mewarnai dan crayon milik anak – anaknya. Janeta tersenyum, buku mewarnai itu seolah alarm yang membangunkan dari tidur dan mengingatkannya untuk menerima kenyataan dan menjalani hidup di masa sekarang. Buku mewarnai dan segala benda milik anak – anaknya yang selalu tercecer di sekitarnya. Perlahan Janeta menjalankan mobilnya, menuju anak – anak dan kedua orang tuanya. Alasannya untuk tetap menjaga kewarasan.